28/04/09

Chapter 1

Chapter 1



Vanda’s POV



Semua orang di Shinra selalu sibuk. Yang kumaksud dengan “Sibuk” adalah benar-benar sibuk. Ayahku sudah tua dan sekarang Kak Rufus yang memegang kekuasaan, dan Kak Rufus selalu sibuk.

Aku bosan di Shinra.

Sekarang, bagaimana caranya aku bisa lepas dari dua mahluk keparat ini ?! Turks. Reno dan Rude; pengawal setia kakakku; yang sekarang diperintahkan untuk menguntitku kesana-sini.
Sebenarnya aku tidak bisa mengerti kenapa ayahku (atau siapa pun yang pernah menerima mereka berdua) bisa menerima mereka berdua di Shinra. Mereka bodoh dan menyebalkan. Oh, well, satu-satunya keunggulan mereka adalah keduanya setia. Titik. Hanya itu saja.

“Tuan Puteri.”
Tuh, kan. Belum apa-apa mereka sudah mengejarku lagi. Padahal aku hanya berjalan keluar dari batas wilayah Shinra Headquarter.

“Tuan Puteri, jangan pergi jauh-jauh.” Ucap Rude sambil terengah-engah menyusulku. Reno entah dimana; mungkin tertinggal.

“Aku mau jalan-jalan di kota.” Sahutku.

“Tidak.” Ucap Rude pula; “Di kota terlalu ramai dan kabarnya kelompok pemberontak Avalanche berkeliaran disana.”

“Terus kenapa ?” Sahutku.

“Uhh…. M-mereka akan mengincar Anda.” Jawab Rude.

“Mereka tidak akan mengincarku kalau mereka tidak tahu siapa aku.” Kataku; memberi jawaban yang penuh logika. Benar, kan ?! Kalau tidak ada yang tahu siapa aku mana mungkin mereka akan menangkap seorang gadis kecil biasa. Kecuali kalau aku menyebutkan nama belakangku.

“T-tapi… selain A-Avalanche, juga ada kelompok anak berandalan itu.” Bantah Rude; “Kelompok Kadaj.”

“Aku tidak takut pada mereka !” Aku menjawab dengan terus-terang; “Mereka bukan Sephiroth sendiri. Buat apa kita harus takut pada mereka ?! Dan menurut informasi yang kudengar mereka belum pernah menimbulkan kerusakan yang berarti bagi Shinra, berbeda dengan Cloud Strife.”

“T-tapi Tuan Puteri……”

“Sudahlah ! Begini saja, kalian kawal aku dari jauh ! Jadi tidak seorang pun akan curiga bahwa aku adalah Puteri Shinra sendiri. Kalau kalian berkeliaran di dekatku justru semua orang akan curiga, dan aku akan meminta bantuan Cissnei untuk menyamarkan wajahku agar tidak ada yang akan mengenaliku !” Aku tertawa.

“T-tapi.. K-kalau Tuan Muda Rufus sampai tahu…..” Rude tampak bimbang; “Tuan Muda berpesan agar Anda tidak boleh meninggalkan Shinra Headquarter untuk sementara waktu, sebab situasi sedang kacau……”

“Tak usah takut pada kakakku !” Aku menepuk bahunya; berusaha menenangkannya. Siapa sih yang mau terus-menerus terkurung di dalam Shinra Headquarter membosankan ini jika di luar banyak tempat untuk bersenang-senang ?! Maka aku menemui Cissnei dan meminta Cissnei mendandaniku agar tidak ada yang mengenaliku.

Dia melakukannya dengan baik. Dia memang cerdik. Dia menyuruhku mengenakan pakaian pria dan akhirnya aku berhasil menyamar sebagai cowok. Nah, kalau begini tidak akan ada yang mengenaliku.

Aku berlari keluar dari Shinra Headquarter dengan gembira. Aku tahu Reno dan Rude masih mengikutiku di belakangku.

“Jaga jarak kira-kira seribu kilometer dariku !” Aku berteriak pada mereka berdua; “Jika tidak, kalian akan membuatku dikenali !!”

Lalu aku berlari ke Midgar.

Kota itu cukup ramai di siang hari begini. Disana-sini terlihat orang-orang hilir-mudik dengan tujuan masing-masing. Aku berjalan-jalan dengan bebas dan riang, masuk ke toko dan berbelanja. Aku sedang melewati sebuah toko obat ketika kudengar suara orang bertengkar di dalam toko obat itu, dan yang lebih parah lagi mendadak terdengar suara keramik pecah dari dalam. Keributan itu mengundang orang-orang menonton; termasuk aku.

Kulihat seorang gadis bertengkar dengan salah satu karyawan Toko Obat ini.
Si karyawan Toko Obat adalah seorang anak laki-laki berusia sekitar dua puluhan, dengan rambut coklat dan mata coklat. Sedangkan si gadis yang bertengkar dengannya memiliki rambut hitam lurus digelung, sepasang bola mata berwarna hijau jernih, dan kulit putih bersemu. Dia mengenakan pakaian warna hitam yang justru kontras dengan warna kulitnya dan membuat warna kulitnya tampak semakin putih bersemu seperti warna kelopak bunga.

“Nona.” Kata si karyawan Toko Obat; “Percayalah, benda itu tidak sengaja berada dalam racikan.”

“Bagaimana mungkin bisa tidak sengaja ?!” Jawab si gadis; “Kalau kau memang tidak teliti seperti itu lebih baik kau tidak punya mata sekalian.” Suara gadis itu lembut dan nadanya tetap tenang namun sangat dingin.

Dan di luar dugaanku, gadis itu mendadak menyerang si karyawan Toko Obat; berniat mengambil bola mata si karyawan Toko Obat itu. Syukurlah, sebelum jarinya mengenai wajah karyawan Toko Obat itu mendadak seseorang berlari menerobos kerumunan dan melompat menghalangi gadis itu.

Aku terkejut, sebab orang yang menghalangi gadis itu memiliki wajah yang sama dengan si gadis sendiri. Orang yang menghalangi itu juga seorang gadis dengan umur yang sama, kulit putih yang sama, sepasang bola mata dan warna rambut yang sama, hanya saja rambut panjang lurus orang yang ini dibiarkan tergerai. Yang ini mengenakan pakaian serba putih yang membuatnya tampak bersinar dan manis seperti seorang dewi.

Agaknya gadis yang rambutnya digelung juga terkejut dan mundur selangkah.

“Celestine.” Si Karyawan Toko Obat menyapa gadis yang baru datang yang menyelamatkannya.

“Apa yang terjadi, Denzel ?” Tanya gadis yang baru datang itu pada si Karyawan Toko Obat yang bernama Denzel.

“Nona itu hendak membeli obat racikan tetapi salah satu karyawan disini tidak sengaja menjatuhkan sayap rayap di dalam racikan dan nona itu tidak mau mengerti meskipun pihak Toko Obat ini sudah minta maaf dan sudah mau mengganti rugi. Kami sudah bilang sebagai permintaan maaf kami tidak akan memungut bayaran dan kami akan meracik ulang ramuannya, tetapi Nona itu tetap tidak mau mengerti.”

“Oh.” Celestine menatap si Nona yang tadi menyerang Denzel.

Nona itu menjawab; “Jadi kau yang bernama Celestine ?! Sejak tadi si karyawan Toko Obat ini salah mengenaliku dan terus memanggilku dengan namamu. Itu sudah cukup menjengkelkan, ditambah lagi kemudian aku menemukan sayap serangga di dalam ramuan obat yang kubeli. Apakah karyawan di Toko Obat ini semuanya buta dan tidak punya mata ?”

“Mereka sudah minta maaf padamu !” Sahut Celestine; “Mungkin itu tidak disengaja. Lagipula mereka sudah mau meracik ulang ramuannya. Sebaiknya tidak usah dipermasalahkan. Kau kan tidak akan dimintai bayaran.”

“Permasalahannya bukan uangnya.” Balas si Nona yang berwajah sama dengannya; “Aku membeli ramuan ini untuk seseorang yang sangat penting bagiku. Aku tidak akan mentolerir kesalahan apa pun.” Dia menyerang lagi, tetapi tanpa kuperintahkan mendadak Reno dan Rude menghalangi di antara kedua gadis itu.

“Re—” Aku mendengar Celestine berkata, tetapi lalu kulihat Reno memberi isyarat dan Celestine segera menutup mulutnya.

“Nona.” Reno menatap si gadis yang mirip Celestine itu; “Sebaiknya persoalan ini jangan diperpanjang, ok ?!”

“Orang asing tidak usah ikut campur.” Sahut gadis itu.

“Hey.” Aku pun segera membuka mulut; memanggil Reno dan Rude kembali; “Kalian berdua, sini !”

Reno dan Rude menurut; menghampiriku.

Begitu Reno dan Rude melangkah mendekatiku, kedua gadis kembar di Toko Obat itu segera bertarung lagi. Denzel berteriak-teriak mencoba memisahkan, tetapi sia-sia.

“Aku tidak sangka ternyata kau hebat juga, gadis kecil ?!” Ucap si gadis yang menyerang kepada Celestine sambil tetap melawannya.

“Aku bukan gadis kecil, bahkan kurasa kita seumur !” Jawab Celestine; “Dan tentu saja aku lebih hebat darimu. Guruku adalah Cloud Strife yang terkenal itu !”

“Oh, rupanya kau adalah murid dari si pencuri itu.” Sahut gadis satunya.

“Pencuri ?!” Ulang Celestine; “Beraninya kau menyebut Cloud sebagai pencuri !”

“Dia membawa pusaka seseorang. Coba kau tanyakan padanya jika kau berjumpa dengannya lagi nanti.”

“Pusaka apa---?”

Si gadis yang menyerang mengambil kesempatan ketika Celestine sedang lengah; untuk melompat ke atap bangunan dan melarikan diri. Tetapi terdengar suaranya sebelum sosoknya menghilang di kejauhan; “Sampaikan padanya bahwa suatu hari nanti aku akan mengambil kembali pusaka itu !”

Kemudian sosoknya menghilang.

Denzel segera menghampiri Celestine.

“Siapa dia ?” Tanya Celestine sambil menatap ke arah perginya gadis tadi.

“Entahlah.” Sahut Denzel; “Pertama-tama aku salah mengenalinya. Kukira dia adalah kau.”
Denzel memungut sebuah kertas yang tertinggal di atas tanah; “Ini kertas resep miliknya. Hm… Nafretiri Crescent. Apa itu namanya ?!”

“Nama yang indah.” Ucap Celestine; “Kenapa dia sangat mirip denganku ?!”

Mendengar pertanyaan itu dalam hatiku terbersit suatu pikiran, tetapi aku tidak yakin.
Celestine dan Denzel kembali masuk ke Toko Obat sambil masih mengobrol.

“Tuan Puteri.” Bisik Reno sambil dengan kurang ajarnya menarik tanganku dan membawaku menjauh dari toko itu. Aku segera menyentakkan tanganku; melepaskan diri darinya setelah kami cukup jauh dari toko itu.

“Jangan main pegang sembarangan !” Aku membentaknya. Bagaimana pun juga dia kan hanya orang yang bekerja pada kakakku.

“Maaf.” Sahut Reno; “Aku hanya berusaha menyelamatkan Anda. Kelihatannya ada yang tidak beres dengan gadis tadi.”

“Gadis yang mana ?”

“Gadis yang membeli obat.” Sahutnya; “Crescent bukan nama yang umum belakangan ini semenjak……” Dia tidak meneruskan, tapi aku mengerti maksudnya.

“Tapi kita tidak boleh menuduh sembarangan.” Sahutku; “Siapa tahu gadis itu tidak punya hubungan apa-apa dengan Seseorang Bermarga Crescent yang kita kenal.”

“Yeah, kuharap begitu.” Jawab Reno; “Sebaiknya kita melaporkan ini kepada kakak Anda, Tuan Puteri.”

“Kenapa ?! Kenapa semuanya harus dilaporkan padanya ?!” Sahutku muak.

Reno dan Rude saling pandang. Mereka berdua memang payah. Mereka berdua hanya anjing kakakku. Tapi aku punya ide lain. Aku akan menyelidiki kasus ini sendiri. Aku curiga kedua gadis itu; Nafretiri dan Celestine; adalah keturunan terakhir Cetra yang hilang. Tapi bagaimana pun juga kita tidak bisa langsung menuduh, bukan ?! Kedua gadis itu tidak menggunakan marga ayah mereka; kalau memang mereka-lah puteri dari Zack Fair dan Aerith Gainsborough.

Penasaran, aku kembali ke Toko Obat itu. Reno dan Rude mengikuti di belakangku. Denzel dan Celestine sudah tak tampak; mungkin berada di ruangan dalam. Seorang karyawan lain di toko obat ini menghampiriku. Karena Cissnei sudah menyamarkan aku menjadi putra, karyawan itu menyapaku dengan sebutan “Tuan Muda.”

Aku pura-pura membeli obat sambil bertanya; “Aneh sekali gadis yang tadi membeli obat itu. Hanya karena kesalahan kecil dia tidak memaafkan.”

“Dia bilang obat itu untuk seseorang yang sangat berarti baginya.” Jawab si karyawan; “Memang kami yang salah.”

“Apa dia sering membeli obat disini ?” Tanyaku pula.

“Ini kedua kalinya Ms. Crescent membeli obat disini.” Ucap si karyawan; “Tapi kurasa ini adalah terakhir kalinya. Pasti dia akan membeli obat di tempat lain sekarang.”

“Yeah.” Aku setuju. Aku diam sejenak sementara karyawan itu melayani pembeli lain, kemudian setelah dia selesai melayani pembeli lain aku bertanya lagi; “Nona Celestine adalah pemilik Toko Obat ini ?”

“Bukan.” Sahut si karyawan; “Ms. Celestine adalah sahabat Denzel dan Denzel baru saja seminggu bekerja disini. Ms. Celestine sering mengunjungi Denzel kesini dan membawakan bekal untuknya sehingga seluruh karyawan toko ini sudah mengenal Ms. Celestine dengan baik.”

Secara iseng, aku bertanya; “Apakah marga Nona Celestine adalah Fair ?”

“Bukan.” Si karyawan menatapku; “Marganya adalah Valentine.”

“Oh, oke.” Aku pun meninggalkan toko obat ini sebelum dicurigai. Aku yakin kedua gadis tadi adalah anak Zack Fair yang hilang; yang dicari oleh Shinra selama ini.



***


Celestine’s POV


Phew. Akhirnya kekacauan singkat tadi berakhir. Sayang sekali gadis itu melarikan diri. Aneh sebetulnya, sebab menurutku dia cukup tangguh dan sangat menguasai Spell fire. Kenapa dia takut untuk bertarung ? Apakah dia begitu terburu-buru sehingga pergi begitu saja ? Dan kenapa dia memanggil Cloud sebagai pencuri ?! Enak saja..! Pusaka apa yang dimaksudkannya ?

Aku dan Denzel masuk ke dapur. Tadi sebetulnya aku kebetulan saja datang membawakan bekal untuk Denzel. Dia makan dengan lahap. Dia memang sangat menyukai bakmi buatanku. Denzel baru seminggu bekerja disini dan sudah langsung ada kejadian begini.

“Apa sebaiknya kau cari pekerjaan lain saja ?” Aku bertanya.

“Tidak.” Dia tidak setuju; “Aku suka bekerja disini.”

Aku menghela nafas.

“Lagipula,” Dia menambahkan; “Aku rasa gadis itu tidak akan datang lagi kesini. Dia pasti akan mencari obat di toko lain.”

“Yeah, kurasa begitu.” Jawabku. Aku teringat kembali wajah gadis itu yang sama persis sepertiku; kecuali ekspresinya yang lebih keras dan lebih dingin. Kurasa ekspresiku lebih ramah dan lebih kekanakkan. “Bagaimana mungkin dia bisa begitu mirip denganku..?!” Ucapku.

Denzel terdiam cukup lama. Akhirnya dia menjawab setelah beberapa saat; “Kau harus menanyakan ini pada Cloud atau pada Ayah Angkatmu.”

“Gadis itu memiliki mata hijau.” Tambahku; “Mungkinkah dia adalah penerus Jenova..?”
Denzel terdiam lagi, kali ini sambil menatapku. Kemudian dia menyahut lambat-lambat; “Matanya sama seperti matamu. Mata Cetra.”

“Tapi tidak mungkin ada Cetra lain selain aku.” Bantahku. Aku mengenang kembali cerita-cerita tentang kelahiranku yang selama ini sudah sering kudengar dari Cloud, Barret, Cid, Yuffie, dan Ayah Angkat. Sama sekali tidak disebutkan aku punya saudara. Sebuah gagasan aneh muncul di otakku, dan aku pun mengatakannya pada Denzel; “J-jangan-jangan.. gadis itu adalah spesimen ciptaan Shinra yang dibentuk meniruku !”

“Bisa jadi.” Kata Denzel muram.

“Pasti begitu.” Aku yakin. Gadis itu pastilah monster lain ciptaan Shinra. Kebencianku kepada Shinra semakin bertambah. “Kita harus segera menyetop Shinra.” Kataku; “Seenaknya saja mereka menciptakan mahluk hidup !”

“Kau benar.” Gumam Denzel.

Aku sudah tidak sabar lagi hendak menceritakan ini kepada Ayah Angkatku.



***


Nafretiri’s POV



“Ada yang aneh denganku ?” Ini terakhir kalinya aku bertanya secara baik-baik kepada orang yang memperhatikanku di pinggir jalan.

“E-eh.. t-tidak. Maaf, Miss.” Jawab pria yang memperhatikanku.

“Kalau kau salah kenal; namaku bukanlah Celestine.” Ucapku pula.

Si pria terkejut; “Kau kenal Celestine ?”

“Aku baru saja bentrok dengannya di Toko Obat.” Sahutku tak acuh; “Sekarang pergilah kesana kalau kau memang ingin bertemu dengannya. Aku--”

Belum selesai aku bicara, mendadak pria itu menyerangku dengan tongkatnya. Aku terkejut dan mundur.

Aku sadar pria itu tidak bermaksud melukaiku, sebab dia segera berteriak; “Siapa kau sebenarnya ?”

“Bukan urusanmu !” Jawabku, kembali mundur dan melompat ke atas atap salah satu bangunan lagi. Melihat senjata pria penyerangku itu; yaitu tongkat; aku jadi ingat pada cerita Kadaj tentang salah satu teman Cloud. “Apa kau Cid ?” Aku bertanya.

“Bagaimana kau bisa tahu ?” Pria itu balik bertanya; “Siapa kau sebenarnya ? Apa hubunganmu dengan Jenova ?”

“Kalau ada seseorang yang kalian tidak suka, kalian akan langsung mengasumsikannya sebagai Jenova ?!” Aku membalas; “Dan kalau ada kejadian buruk yang terjadi maka kalian akan langsung menuding kepada Jenova ?! Maaf sekali, aku tidak punya waktu untuk kalian !” Lalu aku segera meninggalkannya.

Di luar dugaanku dia berusaha mengejarku. Aku terus berlari di atas atap dan dia mengejarku di atas atap. Kami melompat dari satu atap ke atap lain, dan dia masih belum mau melepaskanku.

“Aku tahu kau ada hubungan dengan Jenova !” Cid bicara sambil tetap mengejarku; “Matamu adalah mata Jenova !”

“Oh ?! Setiap kali kalian melihat manusia bermata hijau kalian akan menyebutnya Jenova..?!” Aku membalas lagi; “Apa Cloud Strife yang mengajarkan itu ?”

“Bicaramu juga seperti Jenova !” Seru Cid.

“Kalau begitu anggaplah aku adalah Jenova. Aku tidak keberatan.” Aku menjawab; “Tapi saat ini aku tidak punya waktu untuk bermain denganmu !” Lalu aku meng-Cast fira kepadanya. Dia terhalang, dan aku berhasil meloloskan diri lagi.

Aku pergi cukup jauh dari tempat itu. Hari sudah sore. Akhirnya aku menemukan toko obat yang lain dan berhasil membeli apa yang kubutuhkan untuk Genesis. Kertas resepku tidak ada; pasti terjatuh ketika aku bertarung dengan Celestine tadi. Tapi tidak masalah sebab aku sudah hafal isi resep itu. Aku membeli obat dan pulang.

Hari ini malam bulan purnama.

Aku tidak boleh pulang terlambat, atau Sephiroth akan marah padaku. Hanya pada malam bulan purnama-lah dia bisa memiliki wujud.

Kami tinggal di pulau yang cukup jauh dari Midgar bernama Death Queen Island. Tidak ada siapa pun yang tinggal disana, meskipun tempat itu sebenarnya cantik. Bunga-bunga bakung menghiasi seisi pulau.

Aku kembali kesana dan langsung merebuskan ramuan obat lalu membawanya kepada Genesis yang tinggal di sebuah goa bawah tanah atas keinginannya sendiri sambil berusaha melupakan masa lalunya yang sangat pahit.

Wajahnya masih rupawan; tampak seperti seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun; meskipun usianya sekarang hampir dua kalinya itu. Walau begitu, rambutnya telah putih semua. Aku tahu rambutnya dulu berwarna merah keemasan. Saat aku masih kecil rambutnya masih berwarna merah keemasan, dan tahun demi tahun aku melihatnya berubah. Dia memang mengalami degradasi, dan dia berusaha menghambat proses itu dengan meminum obat setiap hari. Resep obat itu pemberian Prof. Hollander. Aku tidak kenal Hollander tapi aku pernah dengar kisahnya.

Obat itu berguna. Berkat obat itulah degradasinya tidak berlangsung dengan cepat seperti seharusnya.

Dia sedang duduk bersila ketika aku masuk. Sepasang matanya terpejam, tapi seperti biasa dia selalu tahu apa yang terjadi.

“Kau sudah pulang ?” Dia menyapaku tanpa membuka matanya.

“Ya, Guru.” Jawabku, mendekatinya; “Aku membawakan obat.” Aku menyodorkan mangkuk obat hangat yang kupegang di atas kedua tanganku.

Dia membuka matanya, tapi bukan untuk menatap obat; melainkan menatapku. “Kau bertarung dengan seseorang hari ini ?” Dia bertanya; “Wajahmu agak pucat.”

“Aku baik-baik saja…..”

“Kau tidak bisa membohongiku. Aku yang membesarkanmu. Kau sudah seperti puteriku sendiri.”

Aku menunduk. Dia benar.
“Aku bertemu seorang gadis yang mirip denganku.” Akhirnya aku berterus-terang.

“Mirip denganmu ?!” Dia mengulang; “Tidak ada orang yang mirip denganmu.”

“Aku tahu, Guru, tapi gadis ini… dia sangat mirip denganku.” Aku kembali bicara; “Tapi aku bentrok dengannya secara tak sengaja.”

“Mungkinkah gadis itu adalah mahluk ciptaan Shinra ?” Guruku memberiku gagasan; “Shinra terkutuk itu senang menciptakan mahluk hidup dan membuat kloning.”

“Anda benar.” Aku menerima pendapatnya. Kemudian aku menyuapinya obat dan dia tidak banyak bicara lagi.

Setelah aku selesai menyuapinya barulah dia berkata; “Malam ini bulan purnama. Jangan sampai kau terlambat bertemu dengan dia. Nanti dia marah lagi.”

“Aku tahu, Guru, terima kasih.” Aku membungkuk dan keluar sambil membawa mangkuk bekas obatnya dan mencucinya dulu sebelum aku bersiap untuk menemui Sephiroth.

Kedua guruku tidak saling bicara satu sama lain; bahkan tidak mau saling bertemu. Mereka juga tidak pernah saling titip-salam. Mereka berdua satu sama lain menganggap satunya tidak ada disini. Aku tahu pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Semacam kesalah pahaman, bahkan mungkin lebih dari itu.
Kedua guruku juga tidak pernah berusaha saling menyelidiki apa yang diajarkan oleh satunya lewat diriku. Tidak. Sama sekali tidak. Mereka saling menghormati, karena itulah mereka tidak pernah bertanya padaku misalnya ‘Apa yang dia ajarkan ?’

Sebenarnya aku ingin mereka saling bicara kembali. Aku ingin keduanya bertemu. Tetapi aku tidak bisa mengatakan itu. Setiap kali aku mencoba membicarakan itu kepada mereka maka mereka akan marah padaku.

Ketika akhirnya aku keluar dari rumah yang kutinggali seorang diri di pulau ini, Sephiroth telah menungguku. Dia berdiri membelakangiku; di antara bunga-bunga bakung. Rambutnya yang perak panjang melambai tertiup angin. Latar belakang bulan purnama menjadikannya tampak seperti lukisan yang indah.

Dia tampak seperti pria berusia dua puluh lima tahun. Sama sekali tidak ada perubahan dalam fisiknya walaupun sebenarnya usianya hanya lebih muda beberapa bulan dari Genesis. Bedanya; Sephiroth tidak lagi memiliki wujud fana. Dia sudah pergi ke Lifestream. Tubuhnya terombang-ambing di dimensi lain. Tetapi dia memiliki kekuatan yang tak terbatas yang membuatnya tidak bisa mati. Roh-nya tidak bisa pergi ke Afterlife, dan entah bagaimana dia menemukan cara untuk kembali menjejakkan kaki di atas dunia manusia hanya pada malam bulan purnama.

“Guru.” Sapaku.

Dia membalikkan tubuhnya untuk menatapku. “Apa yang kau lakukan hari ini ?” Tanyanya.

Aku tahu bahwa kedua guruku entah bagaiman mengetahui semua kejadian di luar pulau, maka percuma saja berbohong padanya. “Aku bertemu dengan seorang gadis yang sangat mirip denganku.” Jawabku.

Dia diam sejenak, lalu secara singkat dan jelas dia berkata; “Aku memerintahkanmu untuk tidak memikirkan tentang gadis itu lagi.” Nadanya tetap tenang dan dingin seperti biasa, namun berkesan tegas.

“Baik, Guru.” Aku pun berjanji.




***








Tidak ada komentar:

Posting Komentar